Haswa, Renungan di Masjid Nabawi

Sumber: Adobe Stock By Andrey Markelov

Akhmad Supriyatna, Pendidik.

Di pojokan Haswa, salah satu area tempat shalat di dalam  Masjid Nabawi, saya merenungi tentang tempat ini yang menurut kisah, dulunya menjadi tempat sahabat berbincang menuntut Ilmu. Sahabat adalah manusia unggul hasil pendidikan Rasulullah.

Kala itu masjid Nabawi hanya seluas 22 x 15 m. Haswa adalah halaman masjid yang tak beratap. Hingga kini Haswa tidak beratap hanya dipasangi tenda buka tutup. Hanya saja lokasinya kini berada di dalam masjid. Ada dua Haswa. Haswa pertama di belakang Raudhah dan Haswa kedua di belakang Haswa pertama.

Lokasi ini ibarat “madrasah” bagi para sahabat untuk menimba pelajaran dari Sang Guru, Rasulullah SAW. Selain untuk berbincang dan belajar, Haswa juga menjadi tempat mengobati bagi sahabat yang sakit.

Model pendidikan yang dipraktikkan Rasulullah jelas dan terbukti menghasilkan manusia unggul. Banyak orang yang sebelumnya menentang ajaran Rasulullah, berbalik 180 derajat menjadi manusia terbaik. Itulah makna pendidikan sesungguhnya. Bayangkan sekelas Suhail bin Amr, Abu Sufyan, Amr bin Ash, dan  Khalid Bin Walid, akhirnya takluk dan memeluk Islam dan menjadi pejuang Islam yang utama. Bahkan perempuan “ganas” seperti Hindun pun akhirnya bersyahadat.

Terlepas dari prosesnya yang berbeda-beda, bersyahadatnya musuh Islam tersebut berangkat dari kesadaran diri, dari hati. Perubahan hati adalah buah dari proses pendidikan.  Pendidikan mengubah jalan buruk seseorang ke jalan yang baik. Mengubah cara berpikir sempit menjadi lapang.  Itulah hakekat pendidikan.

Dalam pendidikan, siapapun yang menghendaki untuk dididik, bagaimana pun kondisi dia, apakah tergolong cepat menerima pelajaran atau lambat, semua wajib dilayani. Bahkan seperti Abdullah bin Umi Maktum yang datang kepada Rasulullah, kemudian Rasulullah bermuka masam dan berpaling, Allah langsung menegur nabi untuk tidak bermuka masam. Abdullah bin Umi Maktum adalah seorang yang buta.

Inilah esensi praktik pendidikan Islam yang inklusif, terbuka bagi siapa saja tanpa kecuali. Dalam istilah ekstrim, siapapun yang memiliki denyut nadi, ketika ia membutuhkan pendidikan, wajib dilayani. Dalam jargon yang lebih umum kita mengenal istilah “pendidikan itu dari buaian hingga liang lahat” atau “pendidikan sepanjang hayat”.

Andai prinsip ini menjadi dasar pendidikan kita dan dijalankan dengan konsisten, maka negara harus melayani semua warga negara secara unggul tanpa kecuali. Siapapun dia, bagaimanapun keadaan dia.

Bukan hanya melayani anak-anak dengan kriteria tertentu saja dengan beragam dalih. Seolah mereka inilah yang kelak bisa menjadi sosok lokomotif perubahan Indonesia ke arah yang lebih maju. Ingatlah bahwa Tuhan tidak menciptakan seseorang dengan sia-sia. Allah tidak pernah menciptakan produk gagal. Ingat pula bahwa Rasulullah menempatkan semua sahabat sesuai kompetensi masing-masing.

Ketimbang menyediakan layanan berupa “Sekolah Unggulan” yang sangat diskriminatif, lebih baik semua sekolah –tanpa kecuali– diberi ruang untuk maju secara alamiah. Jadikan semua sekolah menjadi unggul. Karena sekolah pada hakikatnya tidak pernah bisa disamakan satu dengan yang lain dengan patokan standar yang sama.

Dari semua itu, yang sangat dipentingkan untuk menghadirkan semua sekolah unggul adalah kualitas para pendidik yang insyaf akan tugasnya untuk melahirkan anak-anak yang bertakwa kepada Tuhan dan memiliki akhlak mulia. Inilah faktor kunci keberhasilan pendidikan.

Keinsyafan profesi guru adalah rasa tanggungjawab yang tinggi kepada masa depan anak, bukan pada pemenuhan administrasi pembelajaran.

Adapun mengenai contoh tempat pendidikan terbaik, Haswa menjadi saksi bahwa pendidikan yang berkualitas tidak dilihat dari megahnya bangunan dan lengkapnya fasilitas. Guru yang mulia akan menggunakan segenap kemampuan dirinya untuk melayani anak yang berbeda agar mereka mendapatkan layanan pendidikan unggul yang bermakna.

Lalu bagaimana “Sekolah Unggulan” yang selama ini menjadi label dalam dunia pendidikan kita di Indonesia? Silahkan direnungkan dalam-dalam.

Label ini ke depan bisa saja muncul lagi karena pertimbangan “kebutuhan tertentu” dan “kepentingan tertentu” tapi dapat dipastikan bukan untuk menyelamatkan anak. Apalagi untuk menyelamatkan semua anak Indonesia tanpa kecuali.

Kita sudah berulang kali menggunakan cara itu untuk melahirkan anak-anak yang unggul (menurut cara pandang kita) dan kita belum pernah diberi bukti  bahwa lulusannya bisa menjadi problem solver bagi persoalan Indonesia yang lebih baik.

Paling banter sekolah demikian hanya melahirkan anak-anak yang mendapatkan akses yang mudah ke dunia kerja yang baik. Lalu ia dapat hidup lebih baik untuk dirinya. Adapun masyarakat kita secara kolektif tetap saja terpuruk dengan potret seolah tak berpendidikan.

Hal ini bisa dilihat dari ketidakmampuan orang dewasa kita saat ini  untuk antre, mengelola sampah, menampilkan keramah tamahan, bahkan sekedar mengucapkan “mohon maaf”, “minta tolong”, dan “terima kasih”. Juga bisa dilihat dari rendahnya tingkat kedisiplinan kita. Dan itu menjadi potret biasa di keseharian kita saat ini. Mau bukti? Ikutlah rapat-rapat di instansi pemerintahan kita, jam berapa undangannya dan jam berapa dimulai.

Itulah hasil pendidikan kita saat ini. Apalagi kalau kita mengukur dari kerelaan seseorang berkorban untuk orang lain.  Dan yang sangat tampak, pendidikan demikian tidak secara signifikan menurunkan praktik korupsi. Padahal kita tahu korupsi adalah kejahatan luar biasa. 

Jadi ketimbang sibuk merancang dan menghitung anggaran menciptakan “Sekolah Unggulan” akan lebih baik fokus saja pada esensi pendidikan untuk melayani anak sesuai kodratnya. Kita beri tuntunan pada anak untuk hidup bermakna.

Sebagai seorang pendidik, tentu saya tidak punya pengaruh pada dunia pendidikan yang kompleks. Mungkin peran saya seperti “dust in the wind”, namun setidaknya saya akan memaknai kehadiran hidup ini.

Secara pribadi saya akan istiqomah melakukan praktik pendidikan yang melayani anak. Terutama anak-anak yang tak memenuhi kriteria untuk dilayani oleh sekolah unggulan atau sekolah pemerintah yang memiliki daya dukung kuat. Saya akan tetap fokus pada upaya melayani anak-anak yang tak terlayani atau anak-anak yang tersingkirkan oleh sistem pendidikan kita. Bismillah. 

Masjid Nabawi, 27 Mei 2024

Bagikan Artikel

One Response

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel pendidikan kami bermanfaat?
Bergabung langganan artikel kami melalui email. Gratis!